Jakarta – Pada 11 Januari 2024, suasana di gudang logistik Pemilu Kabupaten Badung, Bali, terlihat sibuk. Di antara tumpukan kardus bertuliskan “TPS”, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dan Sekjen KPU Bernad Dermawan memantau proses sortir dan lipat surat suara Pemilu 2024. Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan kelancaran distribusi logistik, dengan target pengiriman surat suara dalam negeri paling lambat 15 Januari, sebagaimana diungkapkan Hasyim.
Namun, empat bulan kemudian, pada Mei 2024, aktivitas tersebut menjadi sorotan dalam rapat Komisi II DPR. Anggota Komisi II dari Fraksi Demokrat, Rezka Oktoberia, menyoroti penggunaan pesawat jet pribadi (private jet) oleh KPU untuk memantau distribusi logistik di Bali dan daerah lain. Ia menilai penggunaan private jet tidak memiliki urgensi yang cukup.
Menanggapi hal tersebut, Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa penyewaan private jet bertujuan untuk memastikan logistik sampai dengan tepat waktu mengingat periode distribusi yang terbatas.
Pada September 2024, isu penggunaan private jet kembali muncul, kali ini disuarakan oleh Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia. Ia menyebutkan bahwa anggaran yang telah diperjuangkan DPR untuk KPU justru membuat para komisioner bergaya hidup mewah. Komisi II juga menyoroti anggaran untuk apartemen bagi anggota KPU meskipun mereka sudah memiliki rumah dinas.
Walaupun mendapat sorotan dan teguran dari DPR, isu private jet ini sempat mereda. Namun, pada 7 Mei 2025, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Transparency International Indonesia (TII), Themis Indonesia, dan Trend Asia melaporkan penggunaan private jet ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menduga adanya indikasi korupsi dalam pengadaannya.
Koalisi ini mempertanyakan, “Jika hanya untuk monitoring, kenapa tidak dialihkan kepada KPU provinsi atau menggunakan pesawat komersial?” ujar peneliti TII, Agus Sarwono.
Selain penggunaan private jet, Doli juga mengungkapkan bahwa komisioner KPU diketahui menggunakan helikopter dan memiliki tiga mobil dinas, termasuk Toyota Alphard. Ia menegaskan, “Uang negara adalah uang rakyat, yang digunakan untuk hal-hal mewah seperti ini sangat tidak pantas.”
Selain isu private jet, sejumlah kasus etik menyentuh reputasi komisioner KPU. Dari 2022 hingga Maret 2025, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi kepada tujuh komisioner KPU, termasuk pemberhentian Ketua KPU Hasyim Asy’ari.
Kasus-Kasus Etik yang Mengguncang
Beberapa kasus etik yang mencuat terkait perilaku komisioner KPU, antara lain:
-
Kedekatan Ketua KPU dengan Wanita Emas
Pada Agustus 2022, Hasyim Asy’ari terlibat perjalanan dinas dengan Hasnaeni, Ketua Partai Republik Satu. Perjalanan ini menimbulkan pertanyaan karena Hasyim melanggar kode etik terkait komunikasi intensif dengan calon peserta pemilu. DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras. -
Komisioner KPU Diduga Mengancam KPUD
Pada Desember 2022, Komisioner KPU Idham Holik dilaporkan ke DKPP atas ucapannya yang dianggap mengancam jajaran KPU daerah. Meski sempat menuai kontroversi, DKPP kemudian memutuskan untuk merehabilitasi Idham. -
Terima Gibran sebagai Cawapres
Pada Oktober 2023, KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, meskipun ia belum memenuhi usia minimal 40 tahun. KPU akhirnya dijatuhi sanksi peringatan keras oleh DKPP karena kelalaian ini. -
Tindakan Asusila Ketua KPU Terhadap PPLN Den Haag
Pada 2023, Hasyim Asy’ari dilaporkan atas dugaan pelecehan terhadap Cindra Aditi Tejakinkin, anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag. DKPP akhirnya memberhentikan Hasyim sebagai Ketua KPU karena pelanggaran etik yang serius terkait tindakan asusila.
Penyelenggara Pemilu dan Proses Seleksi
Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, menilai bahwa kontroversi ini berakar dari masalah dalam proses seleksi anggota KPU yang dianggap kurang transparan. Meskipun seleksi komisioner KPU dilakukan secara terbuka, Neni mencatat bahwa terdapat dugaan preferensi politik dalam penentuan anggota yang terpilih, yang berpotensi mengurangi integritas penyelenggaraan pemilu.
Menurut Neni, proses seleksi yang kurang akuntabel dapat berisiko memilih komisioner yang tidak memenuhi standar integritas. Ia mengusulkan agar sistem seleksi KPU diubah dengan melibatkan keterwakilan yang lebih luas dari berbagai stakeholder, termasuk pemerintah dan Mahkamah Konstitusi.