Oleh : Rani Dwi Adellia | Mahasiswi Pendidikan Matematika UIN Raden Intan Lampung
Ketimpangan dalam penegakan hukum masih menjadi persoalan utama di Indonesia. Hukum sering kali bersifat diskriminatif—tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Rakyat kecil kerap menerima hukuman berat atas pelanggaran ringan, sementara pelaku korupsi kelas atas sering kali lolos atau hanya mendapat vonis ringan. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan yang mencederai prinsip kesetaraan di hadapan hukum.
Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa masalah utama hukum di Indonesia bukan terletak pada aturan, melainkan pada integritas para penegaknya. Sistem hukum yang baik tidak akan berfungsi maksimal tanpa penegak hukum yang jujur dan profesional. Integritas aparat hukum menjadi fondasi utama bagi tegaknya keadilan.
Salah satu contoh nyata ketimpangan hukum dapat dilihat dari kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis. Vonis awal terhadap Harvey dalam kasus korupsi tata niaga timah dianggap terlalu ringan dan memicu kritik masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa hukuman tersebut tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Setelah melalui proses banding, hukumannya kemudian diperberat menjadi 20 tahun penjara. Kasus ini memunculkan perdebatan tentang efektivitas sistem hukum Indonesia dalam memberantas korupsi. Ketua Aliansi Rakyat Peduli Indonesia (ARPI), Dani Eko Wiyono, menyatakan bahwa hukum di Indonesia masih tebang pilih dan belum berkeadilan bagi rakyat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa orang-orang berkuasa atau berkecukupan cenderung kebal hukum, sementara rakyat kecil mudah terjerat masalah hukum. Kondisi tersebut terjadi karena berbagai faktor, seperti intervensi politik, kekuatan koneksi, serta kemampuan menyewa pengacara mahal yang dapat memengaruhi jalannya persidangan dan putusan pengadilan. Sementara itu, masyarakat miskin sering kali tidak memiliki akses memadai terhadap bantuan hukum dan perlindungan keadilan.
Untuk mengatasi ketimpangan hukum di Indonesia, diperlukan langkah-langkah komprehensif dan berkelanjutan. Pertama, lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pelatihan yang berfokus pada pemahaman hukum, teknik investigasi, dan audit keuangan. Kedua, transparansi dalam setiap proses penyelidikan dan persidangan harus dijaga agar tidak muncul persepsi adanya perlindungan terhadap pelaku korupsi, terutama yang memiliki jabatan tinggi. Ketiga, sistem peradilan harus berjalan cepat dan efisien tanpa penundaan yang tidak perlu. Program e-Court yang diterapkan Mahkamah Agung dapat menjadi langkah nyata dalam menciptakan manajemen administrasi peradilan yang lebih efektif.
Selain itu, sanksi bagi pelaku korupsi perlu diperberat, mencakup pidana penjara yang lebih lama, denda besar, serta pencabutan hak politik atau administratif tertentu. Hukuman juga harus melibatkan pemulihan kerugian negara melalui denda dan pembayaran ganti rugi. Upaya mediasi dapat dilakukan untuk memulihkan kerugian yang dialami masyarakat atau negara akibat tindak pidana korupsi, asalkan tetap dalam koridor hukum yang adil dan transparan.
Pemerataan akses terhadap keadilan juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Keberadaan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di tingkat desa dan kelurahan perlu diperkuat untuk menjamin masyarakat mendapatkan pendampingan hukum, terutama di wilayah terpencil. Layanan ini mencakup konsultasi, advokasi, dan mediasi hukum. Selain itu, peran paralegal yang direkrut oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH) harus terus diberdayakan untuk memberikan bantuan hukum nonlitigasi bagi masyarakat yang belum memiliki akses terhadap advokat profesional.
Ketimpangan hukum di Indonesia merupakan persoalan serius yang mencerminkan belum tegaknya prinsip keadilan dan persamaan di hadapan hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa hukum masih tajam ke bawah namun tumpul ke atas, menandakan adanya diskriminasi berdasarkan status sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Lemahnya penegakan hukum, korupsi, intervensi politik, serta rendahnya integritas aparat hukum memperparah kondisi ini. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap lembaga hukum semakin menurun dan pembangunan demokrasi menjadi terhambat.
Untuk memperbaiki keadaan ini, diperlukan komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa, khususnya lembaga penegak hukum, untuk mewujudkan sistem hukum yang adil, transparan, dan tidak pandang bulu. Reformasi hukum harus terus dilanjutkan melalui perbaikan regulasi, penguatan pengawasan, serta pembangunan budaya hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Hanya dengan penegakan hukum yang setara bagi semua warga negara, Indonesia dapat membangun masyarakat yang demokratis, bersih, dan sejahtera.
