Lampung – Sejumlah elemen masyarakat di Lampung menggelar Aksi Kamisan di depan Kantor DPRD Provinsi Lampung pada Kamis (20/3) sore. Aksi ini merupakan bentuk penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah pada pagi harinya.
Aksi tersebut diikuti oleh berbagai komunitas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), organisasi non-pemerintah (NGO), organisasi kepemudaan (OKP), akademisi, jurnalis, serta jaringan masyarakat sipil lainnya. Para peserta menilai bahwa revisi UU TNI yang baru disahkan berpotensi mengancam demokrasi dan kebebasan sipil, terutama dengan diperluasnya kewenangan militer dalam ranah pemerintahan dan hukum.
Haikal Rasyid dari LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa revisi UU TNI bertentangan dengan prinsip pemisahan antara domain sipil dan militer dalam sistem demokrasi.
“Pengesahan RUU ini dilakukan secara tergesa-gesa dan tertutup, tanpa partisipasi publik yang bermakna. Padahal, Pasal 96 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan legislasi,” ujar Haikal.
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam RUU TNI adalah revisi Pasal 47, yang memperluas jumlah kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh perwira aktif TNI dari 10 menjadi 15.
Menurut Haikal, perubahan ini berisiko memperbesar keterlibatan TNI dalam ranah politik dan pemerintahan, yang dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan serta mengancam kebebasan sipil dan hak asasi manusia.
Selain itu, para peserta aksi juga mengkritik pola pengesahan RUU TNI yang dinilai serupa dengan sejumlah undang-undang kontroversial sebelumnya, seperti UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU BUMN. Mereka menilai bahwa minimnya transparansi dalam proses legislasi ini dapat membuka peluang bagi kembalinya konsep dwifungsi ABRI yang pernah berlaku di era Orde Baru.
Dalam aksi tersebut, massa membawa berbagai spanduk dan poster bertuliskan “Tolak RUU TNI”, “Militer Kembali ke Barak”, serta “Demokrasi Terancam”. Mereka juga menyoroti potensi ketegangan sosial dan konflik kepentingan akibat keberadaan militer dalam jabatan sipil, yang dikhawatirkan dapat mengarah pada militerisasi kehidupan sehari-hari.
Aksi Kamisan ini diikuti oleh sekitar 100 hingga 150 peserta dan berlangsung dengan damai. Para demonstran mendesak pemerintah serta DPR untuk meninjau ulang RUU TNI dan membuka ruang diskusi yang lebih luas dengan masyarakat sipil sebelum mengimplementasikan aturan yang telah disahkan.