KESEHATAN – Sejumlah ilmuwan berhasil melakukan transplantasi hati babi yang telah dimodifikasi secara genetik pada manusia, dan hasilnya menunjukkan bahwa organ tersebut dapat berfungsi dengan baik tanpa tanda-tanda penolakan. Penelitian ini menjadi yang pertama di dunia, membuka harapan baru bagi pasien dengan penyakit hati stadium lanjut yang membutuhkan transplantasi.
Penelitian yang dipimpin oleh tim dokter dari Fourth Military Medical University di China, termasuk Kai-Shan Tao, Zhao-Xu Yang, Xuan Zhang, dan Hong-Tao Zhang, menunjukkan bahwa hati babi yang dimodifikasi secara genetik dapat menjalankan fungsi metabolisme dasar dalam tubuh manusia. Transplantasi ini dilakukan pada seorang pasien yang didiagnosis dengan kematian otak, dan hati babi tersebut berhasil berfungsi dengan baik selama 10 hari setelah transplantasi.
“Ini adalah kasus pertama di dunia di mana hati babi yang dimodifikasi secara genetik ditransplantasikan ke pasien dengan mati otak,” kata Rafael Matesanz, seorang ahli nefrologi dari Organisasi Transplantasi Nasional di Spanyol, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Rafael Matesanz menjelaskan bahwa transplantasi hati babi ini membuka peluang untuk penggunaan organ hewan yang dimodifikasi secara genetik sebagai pengganti sementara bagi organ vital manusia yang rusak, seperti jantung atau ginjal, sambil menunggu organ donor yang cocok.
Ketersediaan organ donor manusia merupakan tantangan besar dalam dunia medis, dan xenotransplantasi—transplantasi organ dari hewan yang telah dimodifikasi genetik—dapat menjadi solusi. Selama beberapa tahun terakhir, uji klinis xenotransplantasi menunjukkan hasil yang menjanjikan. Pada 2023, hati babi yang dimodifikasi dipasang secara eksternal pada pasien mati otak selama tiga hari. Selain itu, ginjal babi yang dimodifikasi juga telah berhasil ditransplantasikan pada pasien hidup.
Meski demikian, transplantasi hati dikenal jauh lebih kompleks dibandingkan ginjal. Para ilmuwan awalnya meragukan keberhasilan transplantasi hati babi karena potensi reaksi penolakan imun yang kuat, mengingat perbedaan lemak, protein, dan glukosa yang dihasilkan oleh hati babi.
Namun, tim yang dipimpin oleh Tao berhasil mengatasi tantangan tersebut dengan melakukan enam modifikasi genetik pada babi. Modifikasi ini bertujuan untuk meminimalkan penolakan imun, termasuk penghilangan gen yang dapat memicu penolakan akut dan penyisipan gen manusia untuk meningkatkan kompatibilitas organ babi dengan tubuh manusia.
Selama prosedur transplantasi, hati babi tidak menggantikan hati pasien sepenuhnya, melainkan ditempatkan di bagian lain tubuh pasien, di rongga perut. Hati asli pasien tetap berada di tempatnya, sementara hati babi dihubungkan dan dipantau. Meskipun penelitian dihentikan setelah 10 hari atas permintaan keluarga pasien, hati babi tetap berfungsi dengan baik sampai pasien tersebut meninggal.
Sistem kekebalan pasien tidak menolak organ tersebut, berkat penggunaan imunosupresan yang menghambat aktivitas sel T dan sel B. Hati babi mampu memproduksi empedu dan albumin, yang merupakan tanda penting dari fungsi hati yang normal.
Penelitian ini masih memiliki banyak ruang untuk pengembangan lebih lanjut, terutama untuk memastikan apakah hati babi dapat berfungsi dengan baik pada pasien yang mengalami gagal hati total, mengingat pasien dalam studi ini masih memiliki hati yang berfungsi sebagian. Namun, penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature ini telah menunjukkan bahwa modifikasi genetik dapat mencegah penolakan organ akut, memberikan dasar yang kuat untuk penelitian lebih lanjut.
“Studi ini merupakan tonggak penting dalam bidang xenotransplantasi hati, dan untuk pertama kalinya memberikan bukti nyata bahwa transplantasi hati babi yang dimodifikasi genetik dapat berhasil pada manusia,” kata Ivan Fernandez Vega, seorang ahli saraf dari University of Oviedo, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Namun, dia juga menekankan bahwa masih diperlukan penelitian mendalam, baik dalam hal ketelitian ilmiah maupun uji klinis, imunologi, histologi, dan hemodinamik yang lebih komprehensif.
Meskipun masih banyak yang harus dipelajari, temuan ini menunjukkan potensi besar untuk menyelamatkan nyawa pasien di masa depan, khususnya mereka yang menghadapi gagal hati dan tidak memiliki pengobatan lain selain transplantasi organ.