Wall Street Merosot Imbas Kekhawatiran Resesi

BISNIS – Indeks utama saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street ditutup merosot tajam pada perdagangan Senin (10/3). Penurunan ini dipicu oleh ketegangan tarif yang berlanjut dan meningkatnya kekhawatiran tentang kemungkinan penutupan pemerintah federal, yang memicu ketakutan bahwa ekonomi AS bisa terjebak dalam resesi.

Dilansir dari Reuters, Indeks Dow Jones (.DJI) turun 890,01 poin atau 2,08 persen menjadi 41.911,71. Indeks S&P 500 (.SPX) kehilangan 155,64 poin atau 2,70 persen dan mencapai level 5.614,56. Sementara itu, Nasdaq Composite (.IXIC) merosot 727,90 poin atau 4,00 persen menjadi 17.468,32.

Aksi jual besar yang terjadi pekan sebelumnya kembali terulang dan semakin memburuk sepanjang sesi perdagangan, menyebabkan ketiga indeks utama AS mencatatkan penurunan signifikan.

S&P 500 mencatat penurunan satu hari terbesar sejak 18 Desember. Sedangkan Nasdaq, yang didominasi oleh saham teknologi, jatuh 4,0 persen, penurunan harian terburuk sejak September 2022.

Pada Kamis, Nasdaq resmi memasuki fase koreksi setelah turun lebih dari 10 persen dari rekor tertingginya yang tercapai pada 19 Desember. Indeks S&P 500 juga ditutup di bawah rata-rata pergerakan 200 harinya, level support krusial untuk pertama kalinya sejak November 2023.

“Ini memang penurunan signifikan dalam satu hari, tetapi masih dalam batas normal untuk pasar saham,” kata Tom Hainlin, Ahli Strategi Investasi Nasional di US Bank Wealth Management, Minneapolis.

“Kekhawatiran semakin meningkat, investor mulai menarik diri, tetapi belum ada tanda-tanda perlambatan pertumbuhan dalam data ekonomi,” tambahnya.

Di sisi lain, HSBC menurunkan peringkat saham AS karena ketidakpastian terkait tarif. Jajak pendapat Reuters terhadap ekonom juga menunjukkan adanya peningkatan risiko resesi di AS, Kanada, dan Meksiko.

Saham teknologi mendapat tekanan akibat menguatnya yen Jepang dan lonjakan imbal hasil obligasi negara. Investor mulai mengurangi perdagangan yen karena ekspektasi kenaikan suku bunga di Jepang.

Perdagangan carry trade, di mana investor meminjam yen dengan biaya rendah untuk berinvestasi di aset dengan imbal hasil lebih tinggi, mulai melemah. Dampaknya terasa pada saham-saham teknologi, termasuk grup Magnificent 7, yang terdiri dari raksasa teknologi berbasis kecerdasan buatan.

“Jika ingin memahami apa yang terjadi di pasar AS, jangan hanya melihat tarif, tetapi juga pergerakan imbal hasil obligasi Jepang,” kata Thomas Hayes, Ketua Great Hill Capital di New York.

“Perdagangan carry sedang menurun, dan uang panas itu banyak tertanam di Magnificent 7. Itulah sebabnya saham teknologi turun,” tambah Hayes.

Di tengah ketidakpastian pasar, para legislator di Capitol Hill terus berjuang untuk meloloskan rancangan undang-undang pengeluaran agar dapat mencegah penutupan pemerintah.

Sementara itu, tarif pembalasan Tiongkok terhadap impor tertentu dari AS mulai berlaku pada Senin. Di sisi lain, tarif baru AS terhadap logam dasar tertentu diperkirakan akan diterapkan pada akhir pekan ini.

Tinggalkan Balasan