Belajar adalah Bentuk Kerendahan Hati

Oleh: Junaidi Ismail | Wartawan Utama Dewan Pers

“Barang siapa hari ini lebih baik dari kemarin, dialah orang yang beruntung. Barang siapa hari ini sama dengan kemarin, dialah orang yang merugi. Dan barang siapa hari ini lebih buruk dari kemarin, dialah orang yang celaka.”

Nabi Muhammad SAW

KETIKA mendengar kata “belajar,” sebagian orang langsung membayangkan ruang kelas, tumpukan buku pelajaran, atau suara guru yang mengajar di depan papan tulis. Padahal, esensi belajar jauh lebih dalam dari sekadar aktivitas formal itu. Belajar bukan hanya kewajiban anak-anak dan remaja yang sedang menempuh pendidikan, melainkan kebutuhan semua manusia, sepanjang hayatnya.

Di era informasi yang sangat cepat berubah seperti sekarang, mereka yang berhenti belajar, sesungguhnya tengah menggali kuburannya sendiri, perlahan namun pasti. Dunia tidak akan berhenti menuntut kita beradaptasi. Maka menjadikan belajar sebagai gaya hidup bukanlah pilihan, melainkan keharusan.

Di era media sosial, “gaya hidup” sering dipersempit maknanya menjadi soal fashion, kuliner, tempat nongkrong, dan hal-hal yang bisa dipamerkan ke publik. Padahal, gaya hidup sejati adalah cara kita memaknai waktu, menyikapi perubahan, dan mengelola potensi diri.

Membaca buku, berdiskusi, menonton konten edukatif, mendengarkan podcast bermutu, mengikuti kelas daring, atau sekadar meluangkan waktu untuk bertanya dan merenung, semua itu adalah bagian dari gaya hidup belajar. Mereka yang menjadikan belajar sebagai kebiasaan, lambat laun akan menjadi pribadi yang matang, bijak, dan solutif.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang rakyatnya terus belajar. Bukan hanya belajar dari sejarah dan pengalaman, tetapi juga dari kesalahan dan tantangan. Negara-negara maju membuktikan bahwa pembangunan manusia lebih penting dari pembangunan fisik. Teknologi, infrastruktur, dan ekonomi tak akan bertahan lama tanpa manusia yang terus berkembang kualitasnya.

Di Indonesia, kita masih sering terjebak pada seremoni “belajar” yang lebih menekankan aspek administratif ketimbang substansi. Sertifikat lebih dihargai daripada kompetensi. Gelar lebih dikultuskan ketimbang kemampuan. Maka, tantangannya adalah bagaimana menggeser paradigma belajar dari yang bersifat formal dan dangkal ke arah yang lebih otentik dan kontekstual.

Orang yang berhenti belajar, biasanya sudah merasa tahu. Di sinilah letak bahaya stagnasi. Belajar adalah bentuk paling dalam dari kerendahan hati, karena mengakui bahwa kita belum sempurna, belum selesai, dan belum tahu segalanya. Dalam dunia jurnalistik, misalnya, wartawan yang baik adalah wartawan yang selalu belajar tentang topik baru, sudut pandang baru, bahkan tentang cara baru dalam menyampaikan informasi yang mendidik publik.

Kerendahan hati inilah yang membedakan antara mereka yang besar karena jabatan, dan mereka yang besar karena kebijaksanaan.

Lihatlah para tokoh yang berpengaruh di dunia dari para ilmuwan hingga negarawan, dari seniman hingga entrepreneur. Mereka semua punya satu kesamaan yakni rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Mereka menjadikan proses belajar sebagai bagian dari identitas dirinya. Tak heran jika mereka tumbuh, melampaui batas-batas waktu dan ruang.

Di level lokal maupun nasional, kita butuh pemimpin yang terus belajar. Belajar dari rakyat, dari kritik, dari realitas lapangan, bahkan dari kesalahan diri sendiri. Karena hanya dengan belajar, seseorang bisa menanggalkan ego dan menumbuhkan empati.

Banyak yang menganggap belajar itu membosankan, melelahkan, dan menakutkan. Tapi sebenarnya, belajar bisa menjadi aktivitas yang menyenangkan, asal dilakukan dengan cara yang tepat. Kuncinya adalah:

  1. Rasa Ingin Tahu: Biarkan diri Anda penasaran. Bertanya itu sehat. Ketika ingin tahu, belajar jadi alami.
  2. Relevansi: Belajarlah hal-hal yang Anda butuhkan, atau yang membuat Anda berkembang.
  3. Koneksi Emosional: Ikat ilmu dengan pengalaman. Jika belajar hanya untuk menghafal, ia akan mudah hilang. Tapi jika ilmu menyentuh perasaan, ia akan tinggal lama.
  4. Komunitas: Belajar bersama orang lain dalam diskusi, forum, atau mentoring, membuat prosesnya lebih hidup dan bermakna.

Masyarakat yang belajar secara konsisten sedang membangun revolusinya sendiri, senyap, tapi berdampak panjang. Tak perlu demo besar-besaran, cukup dengan membangun budaya literasi, menghidupkan ruang-ruang diskusi, dan menyuburkan semangat bertanya. Anak-anak muda yang gemar membaca dan kritis hari ini, kelak akan menjadi pemimpin yang transformatif di masa depan.

Demikian juga para wartawan. Kita bukan sekadar peliput, tapi juga pelajar sepanjang masa. Dunia terus berubah, dan kita hanya bisa menuliskannya dengan benar jika kita terus belajar memahaminya.

Akhirnya, mari kita renungkan satu hal penting: belajar bukan hanya membuat kita pintar, tapi menyelamatkan kita dari kebodohan, kesombongan, dan stagnasi. Belajar memperluas perspektif, menumbuhkan toleransi, dan mengasah daya kritis. Ketika belajar menjadi gaya hidup, kita tak akan takut terhadap perubahan, justru akan menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.

Mari jadikan belajar sebagai identitas kita, bukan sekadar aktivitas musiman. Mari belajar bukan karena disuruh, tapi karena sadar. Karena hanya dengan belajar, kita bisa hidup lebih bermakna, bukan sekadar ada, tapi benar-benar hadir. (*)